BAB
I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Tuhan adalah
pencipta alam semesta, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri, selanjutnya
Tuhan bersifat Maha Kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disini
tumbuhlah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung
pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya?
Apakah manusia diberi kemerdekaan dalam menentukan sendiri perjalanan hidupnya?
Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan?
Dari pemikiran
diatas, penulis bisa menyimpulkan bahwa dengan pertanyaan yang serupa, namun
beberapa orang menanggapinya dengan jawaban yang berbeda-beda. Hal itulah yang
menyebabkan perselisihan pendapat serta perdebatan-perdebatan antar golongan, tak
terkecuali dari pihak Mu’tazilah, Ahlusunnah Asy’ariyah, serta Maturidiyah.
Dengan pertanyaan yang sama pula, masing-masing dari mereka bisa saja
memunculkan konsep-konsep baru. Hal itu menambah perbedaan-perbedaan pendapat
yang tak luput dari perselisihan yang muncul antar keduanya.
Berbicara tentang
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus-menerus terjadi
perpecahan dan penyempalan pendapat tentang suatu hukum atau dalil. Akibatnya
banyak bermunculah kebid’ah-bid’ahan di kalangan kaum muslimin, sehingga
melemahkan kekuatan dan kesatuan serta memberikan ajaran yang tidak benar terhadap
ajaran Islam.
Makalah ini akan
mengupas bagaimana konsep pemikiran dari golongan Mu’tazilah, Ahlusunah wal jamaah
Asy-‘Ariyah, dan Maturidiyah, serta perdebatan-perdebatan yang terjadi antar
golongan. Karenanya penulis harap, makalah ini bisa menjadi sumber bacaan yang
bermanfaat bagi para pembacanya. Dengan kata lain penulis harap dengan adanya
tulisan ini para pembaca bisa membuka fikiran masing-masing agar tidak mudah ikut-ikutan dalam hal perbedaan bahkan
perselisihan antar golongan.
B. Rumusan
Masalah
a.
Apa
saja konsep ajaran Mu’tazilah?
b.
Apa
saja konsep ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah Asyariyah?
c.
Apa
saja konsep ajaran Maturidiyah?
d.
Apa
saja perbedaan yang menimbulkan perdebatan antar keduanya?
C. Tujuan
Penulisan
a.
Mengetahui
apa saja konsep ajaran Mu’tazilah.
b.
Mengetahui
apa saja konsep ajaran Ahlussunnah Wal Jamaan Asyariyah.
c.
Mengetahui
apa saja konsep ajaran Maturidiyah.
d.
Mengetahui
apa saja perbedaan yang menimbulkan perdebatan antar keduanya.
D. Manfaat
Penulisan
a.
Mengetahui
apa saja konsep ajaran Mu’tazilah.
b.
Mengetahui
apa saja konsep ajaran Ahlussunnah Wal Jamaan Asyariyah.
c.
Mengetahui
apa saja konsep ajaran Maturidiyah.
d.
Mengetahui
apa saja perbedaan yang menimbulkan perdebatan antar keduanya.
BAB
II
Pembahasan
A. Aliran
Mu’tazilah
1. Latar
Belakang
Kaum Mu’tazilah
adalah golongan pertama yang memakai senjata yang digunakan lawan-lawan Islam,
seperti dari kaum Yahudi, Kristen, Majusi dan kaum materialist, dalam menangkis
serangan-serangan Islam pada permulaan kerajaan Bani Abbasiyyah. Mereka
mempunyai kegiatan yang besar dalam melawan musuh-musuh Islam dan hanya
merekalah yang memikul beban itu, apabila mereka tidak tampil untuk membela
Islam kala itu, maka lenyaplah dan merupakan malapetaka bagi umat Islam. Apabila
kaum Mu’tazilah tidak ditakdirkan Tuhan untuk membela Islam, maka tidaklah
muncul Ilmu Kalam dengan kekayaan dengan kekayaan yang besar, dan tidak pula
orang akan sanggup membela Islam dari serangan-serangan dari luar. [1]
Mu’tazilah berasal dari kata I’tizal yang artinya memisahkan diri. Beberapa
pendapat mengemukakan bahwa Muktazilah muncul ketika Hasan bin Ali membaiat
Muawiyah dan menyerahkan khalifah kepdanya. Mereka (Pengikut aliran ini)
mengasingkan diri dari Hasan r.a, Muawiyah, dan semua orang. Mereka menetap di
rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka berkata “kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.” Pendapat yang lain
berfikiran bahwa aliran ini memisahkan diri disebabkan karena perdebatan
mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hasan Albashri dengan Washil bin
Atha yang hidup di masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik Alumawy.
Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada
abad permulaan kedua hijrah di kota Bashrah dan mampu bertahan sampai sekarang.
Namun sebenarnya aliran ini sudah muncul sejak pertengahan abad pertama hijrah
yakni pada peristiwa meletusnya Perang
Jaman dan Perang Siffin. Di sisi
lain yang melatar belakangi munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murjiah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan Golongan Khawarij dan Murjiah tentang pemberian status kafir kepada
orang yang berbuat dosa besar.
Dari segi geografis
aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan Aliran
Mu’tazilah Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi
bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak
karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, serta karena
istana khalifah-khalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan
ulama-ulama dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
Aliran Bashrah
lebih banyak menerapkan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad
lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh
kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang
telah dibahas aliran Basrah, hanya saja lebih diperluas pembahasannya.[2]
Setelah paham-paham
dalam Mu’tazilah berkembang sedemikian rupa, maka seseorang baru dapat disebut
“Mu’taziliy” atau penganut paham Mu’tazilah, apabila ia menganut “Al Ushul Al
Khomsah” (lima dasar) mu’tazilah yang terdiri Tauhid, keadilan, janji dan
ancaman. Posisi diantara dua posisi dan Amar ma’ruf nahi mungkar.[3]
Sekalipun demikian, mereka nampak berselisih dalam hal: penafsiran kelima
prinsip tersebut yang didasarkan atas pikiran-pikiran filsafat Yunani. Karena
itu sebenarnya tidak terdapat kesatuan aliran yang disebut Mu’tazilah, tetapi
yang ada adalah bermacam-macam aliran yang timbul dan berkembang sekitar
tokoh-tokoh tertentu.
Dari sejak
kemunculannya, aliran Mu’tazilah secara perlahan-lahan memperoleh pengaruh
dalam masyarakat Islam dan pengaruh itu mencapai puncaknya zaman Bani Abbas,
lebih-lebih setelah Al-Makmun mengakui aliran Mu’tazilah sebagai Madzhab resmi
negara. Jasa Mu’tazilah sangat besar dalam membela aqidah Islam dari
serangan-serangan pihak non islam dan dengan begitu mereka telah berjasa membangun
sistem teologi Islam yang bulat dan membela kebenaran wahyu dengan ketajaman
rasio mereka. Tetapi melalui gerakan inkwisisi (mihnah) yang mulai dijalankan
oleh penguasa pada 218 H, telah menjadi sebab dendam dan kebencian umat Islam.
Sekalipun demikian, penilaian di zaman modern ini kembali berubah setelah para
pembaharu berusaha memberikan gambaran yang obyektif dan positif terhadap
Mu’tazilah.[4]
2. Doktrin
Ajaran
a. Al-Tauhid
(Ke-Esa-an Allah)
Al-Tauhid merupakan
inti kaidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya
melihat Allah di akhirat nanti dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi
Dzat-Nya sendiri serta al-Qur’an adalah makhluk. Tuhan itu sesuatu yang tidak
sama dengan segala sesuatu.[5]
Bagi mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan
dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti ke Maha Esaan-Nya. Tuhanlah
satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh
karena itu, hanya dialah yang qadim. Jika ada lebih dari satu yang qadim, maka
telah menjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[6]
b. Al-‘Adl
(Keadilan Tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Muktazilah
adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan
manusia, dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintah-Nya serta meninggalkan
larangan-larangan-Nya dengan kodrat (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri
manusia itu.[7] Tuhanlah
yang memiliki kekuasaan yang sewaktu-waktu dapat dihapus atau dicabut apabila
Tuhan menghendaki. Pendirian ini bermula dari rangsangan orang-orang
Jahamiyyah, yang mempunyai faham bahwa manusia ini hidup dalam serba
keterpaksaan.[8] Dengan
pemahaman demikian maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia
karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena
perintah Tuhan.[9]
c. Alwad
wa Alwaid (Janji dan ancaman)
Ini berarti bahwa
wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (Alwad), dan melaksanakan ancaman-Nya
(Alwaid),[10] janji
menerima taubat, siapa yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan. Tuhan tidak
akan memaafkan dosa besar tanpa taubat, tidak akan menutup pintu pahala bagi orang
yang akan berbuat kebaikan. Dengan pendirian ini dimaksudkan untuk memolah
paham Murji’ah yang menyatakan bahwa perbuatan dosa besar tidak mempunyai
pengaruh pada keimanan seseorang.[11]
Karena inilah mereka disebut dengan Waidiyah.
d. Al-Manzilah
bainal Manzilatain (Posisi diantara posisi)
Menurut Muktazilah Al-manzilah Bainal Manzilah berarti
suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekuensi dari pemahaman yang
mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq.[12]
Tidak dikatakan beriman tidak pula dikatakan kafir, tidak pula dihukumkan
Mukmin dan tidak pula dikatakan kafir, juga bukan termasuk munafik. Karena
sesungguhnya munafik berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui
kenifakannya. Tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar. Apabila
pelaku dosa besar meninggal dunia sampai belum bertaubat maka akan masuk neraka
selama-lamanya[13].[14]
e. Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Seperti halnya
golongan lain yang berpemikiran bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan
untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan. Muktazilah memandang dalam keadaan
normal pelaksanaan Alamru bil Maruf wa
Nahyu ‘Anil Munkar itu cukup dengan seruan saja. Tetapi dalam keadaan tertentu
perlu kekerasan.[15] Dalam
memastikan terlaksananya prinsip ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan
berselisih pandangan dengan mayoritas (jumhur) umat. Mereka mengatakan Al amru bil Maruf wa Nahyu ‘Anil Munkar
itu dilakukan dengan hati saja. Jika tidak cukup maka dengan lisan. Jika dengan
lisan saja tidak cukup maka dengan tangan bahkan dengan senjata.[16]
3. Tokoh-Tokoh
Muktazilah
a. Washil bin Atha
b. Abu Huzail Alallaf
c. Al Nazzam
d. Abu Hasyim Aljubbai
4. Tinjauan
Terhadap Mu’tazilah
Kehadiran dan
peranan Mu’tazilah dalam sejarah Islam klask telah banyak mendapat sorotan
kontroversial dari pihak-pihak di luaran aliran itu. Akan tetapi tidaklah
disangkal bahwa gerakan aliran ini memberikan sumbangan internal yang besar
kepada islam. Tetpai karena gerakan Mu’tazilah sendiri masih berlangsung
penekanannya yang berlebih-lebihan pada rasionalitas formal bahkan pada aphoteosis
akal, menimbulkan reaksi yang keras di pihak kaum ortodoks.
Salah satu sikap
intoleransi Mu’tazilah yang ditindak lanjuti dengan menjalankan prinsip amar
ma’ruf nahi mungkar menjad sebab risaunya banyak pihak yang menjadi lawan
polemiknya. Tragedi mihnah[17]
dilakukan dengan tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintah yang karena alasan
politik tertentu dapat dipengaruhinya.
Prinsip kedua yang
jarang dipropagandakan Mu’tazilah adalah tentang “keadilan”, yang merupakan
suatu isu relevan pada waktu itu, terutama jika dilihat praktek
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh kalangan penguasa. Tetapi karena dasar
yang elitis, agaknya keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan lain yang
bersifat eskatologi (Tuhan). Berkaitan dengan persoalan yang dirasakan umat,
Mu’tazilah justru meminjam rezim yang berkuasa untuk melakukan tindak
sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya. Sebagai alternatif,
sistem pemikiran teologis yang relevan untuk dikembangkan adalah yang
benar-benar berangkat dari keprihatinan sosial yang diawali dari lapisan
masyarakat akar rumput.
Dalam sejarah
Islam, Mu’tazilah terkenal menempatkan akal pada posisi yang lebih tinggi bila
dibandingkan dengan pendapat yang lain. Akal merupakan sumber pengetahuan dan
mempunyai kedudukan yang sama dengan wahyu dalam memahami agama, oleh karenanya
ada yang memasukkan aliran ini ke dalam “rasionalisme”. Karena pembawaan
rasional, kaum Mu’tazilah merupakan kelompok pemikir Islam yang dengan sangat
antusias menyambut invasi filsafat. Disebabkan oleh kegiatan intelektual mereka
itu, kaum Mu’tazilah merupakan perintis bagi tumbuhnya disiplin baru dalam
kajian Islam, yaitu “Ilmu Kalam”.
B. Aliran
Ahlussunnah Asy’ariyah
1. Latar
Belakang
Asy’ariyah
adalah sebuah
paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asyari. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin
Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-asyari. Kelompok Asyariyah
menisbatkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri Madzhab
Asyariyah.
Abul
Hasan belajar
ilmu kalam sehingga ia menguasai dari Al-jubbai, seorang ketua Mu’tazilah di
Bashrah. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-jubbai.
Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia
menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya
untuk membantah kelompok Mu’tazilah.
Al-asyari yang
semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahlissunah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa
Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan
untuk keluar dari Mu’tazilah. Salah satu sumber menyebutkan bahwa sebabnya
ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-jubbai seputar masalah ash-shalah dan
ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain
mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi
SAW dan beliau berkata kepadanya: “Wahai
Ali, tolonglah mazhab-mazhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang
benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali. Pertama kali sepuluh hari
pertama bulan Ramadhan, kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketiga
pada sepuluh hari yang ketiga bulan Ramadhan.
Pengambilan
keputusan keluar dari Mu’tazilah, Al-asyari menyendiri selama 15 hari. Kemudian
ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300
H. Setelah itu Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela
keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini,
karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Alibanah, ia menjelaskan bahwa ia
berpegang pada mazhab Ahmad bin Hambal. Dalam beragama ia berpegang pada
Al-Quran, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para Sahabat, Tabiin,
serta Imam ahli Hadis.
2. Pengertian
Pada masa
berkembangnya Ilmu Kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan
menggunakan raso telah menjad beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi
penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan
rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat
untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Alasyari
adalah salah
satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika
menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan
merpakan penggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok
Asyariyah tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah
yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Asyariyah
adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-Manusia bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar
luas pada zaman wazir Nizamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi
akidah resmi negara. Paham Asyariyah asemakin berkebang lagi pada masa keemasan
madrasah Annizamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur.
Madrasah Nizhamiyah yang berada di Baghdad adalah universitas terbesar di
dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Almahdi bin Tumirat dan
Nuruddin Mahmud Zanki serta Shalahuddin Alayyubi. Juga didukung oleh sejumlah
besar ulama, terutama para fuqoha mazhab Asy-syafii dan mazhab Almalikiyah
periode akhir. Sehingga wajar bila dikatakan bahwa akidah Asyariyah adalah
akidah yang paling populer dan tersebar di dunia.
3.
Doktrin Ajaran
a. Sifat-sifat
Tuhan
Menurutnya, Tuhan
memiliki sifat sebagaimana disebut di dalam al-Quran, yang disebut sebagai
sifat-sifat yang azali, Qadim, dan
berdiri di atas Zat Tuhan.
Sifat-sifat itu bukanlah Zat Tuhan
dan bukan pula lain dari Zat-Nya.
b. Al-Qur’an
Menurutnya, al-Qur’an
adalah mukjizat berupa balaghah , nuzhum dan fashahahnya. Diantara para
pengikutnya ada yang berpendapat bahwa i’jaz al-Qur’an itu terletak pada dua
hal, yaitu memberi tahukan hal-hal gaib dan memalingkan perhatian orang dari
menjawab tantangannya.
c. Melihat
Tuhan
Sekalipun Tuhan
bersifat immateri (tidak mempunyai dimensi atau ukuran), Dia dapat dilihat
dengan mata oleh manusia di akhirat nanti karena Tuhan dapat membuat manusia
untuk mampu melihat diri-Nya.
d. Perbuatan
Manusia
Menurut Asy’ari,
perbuatan manusia diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia sendiri.
e. Keadilan
Tuhan
Menurut paham ini
Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di
akhirat. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas
segalanya.
f. Muslim
yang berbuat dosa
Menurutnya, yang
berbuat dosa dan belum sempat bertaubat di akhir hidupnya tidaklah kafir dan
tetap Mukmin.
Pengikut
Asyari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran
Ahlussunnah wal Jamaah ialah Imam Alghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asyari. Alghazali mengemukakan sepuluh dalil tentang
perbuatan Tuhan yang disimpulkkan sebagai berikut:[18]
a)
Segala
sesuatu yang baru termasuk makhluk dan perbuatannya adalah ciptaan Tuhan.
b)
Gerakan
dan perbuatan manusia sebagai perbuatan Tuhan tidaklah menafikkan perbuatan
manusia yang disebut “kasab” (usaha), Tuhanlah yang menciptakan kemampuan,
pilihan dan obyek pilihan.
c)
Perbuatan
manusa sebagai usahanya tidaklah terlepas dari kehendak Tuhan. Dari Tuhanlah
asal segala yang baik dan buruk, yang berguna dan ayng tidak berguna, Islam dan
kufur, taat dan durhaka.
d)
Tuhan
tidaklah wajib menciptakan alam dan menurun agama yang didalamnya mengandung kemaslahatan
manusia, sehingga Dia tidak mungkin
menjadi sasaran kewajiban dan keharusan. Tuhan adalah yang melarang, yang
menyuruh dan mewajibkan.
e)
Tuhan
sebenarnya mampu mewajibkan manusia untuk melakukan kewajibannya, yang ia sendiri
tidak akan mampu.
f)
Tuhan
dapat menyiksa hamba-Nya yang tidak berdosa, karena Dia sebenarnya dapat
bertindak dalam kerajaan yang sesuai dengan kehendak-Nya.
g)
Tuhan
dapat melakukan terhadap hamba-Nya apa yang dikehendaki, sehingga Dia tidak
wajib menjamin kemaslahatan yang lebih bak bagi hamba-Nya.
h)
Mengetahui
dan mentaati Tuhan adalah wajib atas manusia berdasarkan syari’at (agama) bukan
atas dasar akal (rasio).
i)
Tuhan mengutus para Nabu kepada manusia bukanlah
hal yang mustahil, karena akal saja tidak akan mampu memperlihatkan jenis-jenis
yang bermanfaat di akhirat.
j)
Tuhan
telah mengutus Nabi Muhammad sebagai rasul penutup dan juga bertugas untuk
menghapus agama-agama sebeumnya. Untuk itu beliau dikukuhkan dengan berbagai
mukjizat dan bukti-bukti yang jelas.
Berkat
Alghazali paham Asyari dengan Ahlussunnah
wal Jamaah berhasil berkembang kemanapun. Walau pada masa itu aliran Mu’tazilah
amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah.[19]
4.
tokoh-tokoh Asyariyah
a.
Alghazali (450-5-5 H/1058-1111 M)
b.
Alimam Alfakhrurrazi (544-606 H/1150-1210 M)
c.
Abu Ishaq Alisfirayini (w 418/1027)
d.
Alqadhi Abu Bakar Albaqillani (338-403 H/950-1013 M)
e.
Abu Ishaq Asy-syirazi (293-476 H/1003-1083 M)
5. Analisa
Doktrin Asy’ariyah pada intinya menyuguhkan suatu
usaha untuk membuat sintesa antara pandangan ortodoks yang waktu itu belum
dirumuskan dengan pandangan rasionalisme Mu’tazilah. Menurut doktrin ini, semua
perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnya oleh Tuhan, Tuhan sendirilah yang
sebenarnya mewujudkan perbuatan atau kasab yang diperoleh manusia. Kasab serupa
dengan gerak involunter; dalam gerak involunter ini terdapat dua unsur, yaitu
penggerak (Tuhan), dan yang bergerak (manusia).
Dari sekian banyak
sistem dalam filsafat Yunani, Asy’ariyah justru memilih sistem yang paling
seram dibantah yaitu “atomisme” materialis dari Junkrit (Democritus). Agaknya
“atomisme” menarik bagi kaum Asy’ariyah, bukan karena asasnya, melainkan karena
kesimpulan, yaitu lingkaran hubungan sebab akibat. Paham tersebut mencerminkan
suatu pandangan dunia yang esensial terputus-putus, dimana setiap hal sekedar
mempunyai kepadatan ontologis Karena putusan Tuhan. Pandangan itu memang
menegaskan kebebasan dan ke Maha Kuasaan Tuhan, bahkan monokausalitas Tuhan,
tetapi menghancurkan derajat kepribadian manusia. Semua yang berubah di dunia
berasal dari intervensi mendadak dari Tuhan tanpa ada kemungkinan menghitung
akibat sesuatu untuk masa depan.[20]
C. Aliran
Maturidiyah
1. Latar
Belakang
Maturidi mempunya
paham teologi yang berbeda dari Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Teologi Maturidiyyah
bercabang dua, yakni: (1) Maturidiyah Samarkand; yang paham teologisnya mash
persis dengan apa yang dikemukakan oleh al-Maturidi, dan (2) Maturidiyah
Bukhara; yang teologinya dibangun atas rumusan al-Bazdawi.
Sebagai pembangun
kembali paham aushul Hanafi, aliran Maturidiyah cenderung lebih berani
menggunakan otoritas akal dari pada paham Asy’ariyah. Ia juga mengembangkan metode
“istihsan” dalam usaha menegakkan keadilan bagi kepentingan umum
ditengah-tengah komunitas manusia (dengan perspektof ketuhanan) meskipun secara
langsung tidak dilandasi oleh otoritas ayat-ayat al-Qur’an. Sekalipun antara
Asy’ariyah dan Maturidiyah terdapat perbedaan, namun bagaimanapun teologi
Maturidiyah telah memberikan kelengkapan terhadap teologi Asy’ariyah dan
menambah sinkron dan harmonis, terutama untuk mewujudkan otoritas akal yang
diarahkan oleh wahyu dan saling melengkapi, karena keduanya telah membangun
kembali paham teologinya menurut al-Qur’an dan Hadis. Pandangan teologi
Maturidi didasarkan pada pikiran Imam Abu Hanifah (ahl-Ra’y) yang tercantum
dalam kitab al-Fiqh al-Akbar.
Dalam pahamnya
tentang kemampuan akal manusia, Maturidi berpendapat bahwa manusia dengan
akalnya mampu mengetahui dan berterimakasih kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan
dan berterimakasih kepada-Nya sebelum adanya wahyu adalah wajib, karena Tuhan
adalah pemberi nikmat yang terbesar: dalam hidup keseharian akal dapat
mengetahui keharusan untuk berterimakasih keada pemberi nikmat itu. Selain
mampu mengetahui Tuhan, akal juga mampu mengetahui baik dan buruk. Pengetahuan
inilah yang menyebabkan akal berpendapat bahwa mesti ada perintah dan larangan
Tuhan. Jadi letak kebebasan manusia tidak lain adalah dalam mentaati atau
melanggar ketentuan Tuhan, bukan melanggar kehendak-nya.
2. Doktrin
Ajaran
Sebagai pengikat
Hanafi, Maturidi membagi perbuatan itu kepada dua bagian, yaitu; perbuatan
Tuhan yang mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia, dan perbuatan
manusia yang mengambil bentuk pemakaiaman daya itu berdasarkan pilihan dan
kebebasan manusia. Daya diciptakan Tuhan bersama-sama dengan perbuatan manusia,
dan atas dasar itulah perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan yang
diciptakan itu diperoleh manusia dengan peranan efektif dari pihak manusia,
yakni dengan menggunakan daya yang diciptakan itu; manusia dapat juga tidak
menggunakan daya yang diciptakan Tuhan, sehingga tidak memperoleh perbuatan.
Demikian halnya karena Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, maka
perbuatan-Nya berlangsung karena hikmah tertentu dan bukan sia-sia.
Dalam kaitannya
dengan ayat-ayat Mutasyabihat, Maturidi menekankan keharusan mentakwilan
seperti halnya kaum Mu’tazilah. Takwil berarti usaha untuk mencari arti kiasan
atau interpretasi rasonal yang ada dalam al-Qur’an; seperti dalam surat al-Qaaf
ayat 16 (artinya; dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat nadi) ditakwilkan
leh Maturidi sebagai isyarat kepada kekuasaan dan kesempurnaan qudrat-Nya.
Mengenai pendapat Maturidi tentang keadaan al-Qur’an, ia menetapkan bahwa
Kalamullah adalah makna yang berdiri pada Zat-Nya dan merupakan satu sifat dari
sifat-sifat yang berhubungan dengan zat-Nya, dan tidak tersusun dari kata dan
huruf.[21]
Mengenai
“Ru’yatullah” di akhirat ia sepaham dengan Asy’ariyah bahwa Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala manusia nanti di akhirat karena Tuhan memiliki wujud. Untuk
perihal kiamat hanya Tuhan yang mengetahui, manusia tidak mengetahuinya kecuali
ibarat yang terdapat dalam nash.[22]
3. Tokoh-Tokoh
Maturidiyah
a. Al-Bazdawi
b. Bayadi
D. Perdebatan-Perdebatan
yang Muncul
Beragam aliran yang
muncul pastilah karena adanya perbedaan pendapat antar sesama. Terkadang
perbedaan perbedaan yang muncul dilandasi karena hal-hal sepele atau mungkin
karena egoisme masing-masing. Perbedaan penafsiran menjadi hal yang paling
sering muncul antar golongan. Ini karena masing-masing dari mereka memegang
teguh pendirian yang mereka punya. Mereka mempunyai guru yang sama—seperti
Maturidiyah misalnya—, tapi masing-masing dari mereka mempunyai pendapat dalam
hal penafsiran yang berbeda-beda.
Pertama,
Mu’tazilah yang terlalu mengedapankan logika. Mereka menganggap bahwa jika
mereka beribadah terus menerus, surga akan menjadi milik mereka. Karena mereka
berfikir bahwa 1+1= 2. Jika bukan 2 berarti salah. Jika mereka beribadah dan
berbuat baik, mereka harus mendapatkan surga. Jika bukan surga yang didapat,
mereka beranggapan bahwa Tuhan telah ingkar pada janji-Nya. Sedangkan menurut
Asy’ariyah dan Maturidiyah, urusan surga dan neraka adalah hak prerogatif
Tuhan. Karena urusan hamba hanya beribadah kepada Tuhannya.
Kedua,
Mu’tazilah berpendapat bahwa Dzat dan sifat
Tuhan itu sama, sedangkan golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat
sebaliknya; Dzat dan Sifat Allah adalah hal yang sangat berbeda. Menurut
Asy’ariyah dan Maturidiyah, Allah adalah Dzat itu sendiri, dan sifat-Nya
seperti Maha Melihat, Maha Mendengar, dll. Allah memang mendengar, tapi bukan
dengan telinga. Jika sifat adalah dzat, maka akan muncul pemikiran jika Allah
beranggota tubuh lengkap selayaknya manusia, karena dzat adalah sesuatu yang
menempel. [23]
Ketiga, Keadilan Tuhan. Menurut Mu’tazilah;
manusia hidup dalam keadaan serba terpaksa, jadi tidak adil jika Tuhan
menghukum manusia karena perbuatan jahatnya, sedangkan manusia melakukannya
karena kehendak Tuhan. Berbeda dengan Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah berpendapat
bahwa adil itu hak prerogatif Tuhan, Dia tidak terikat dengan siapapun dan
dengan apapun. Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat
manusia di akhirat. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha
Kuasa atas segalanya.
Keempat,
menurut
Mu’tazilah; orang yang fasiq yang belum sempat bertaubat hingga akhir hayat
akan dimasukkan ke dalam neraka, dan itu bersifat kekal. Berbeda dengan
Mu’tazilah, Asy’ariyah berpendapat bahwa mukmin yang fasiq yang belum sempat
bertaubat hingga meninggal akan diampuni Tuhan, sehingga saat di akhirat nanti
langsung masuk surga. Tapi mungkin juga tidak diampuni Tuhan, sehingga ia lebih
dulu masuk neraka sebelum masuk surga. Menurut Asy’ari, mukmin yang fasiq tidak
mungkin kekal di dalam neraka.[24]
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
1.
Mu’tazilah
adalah golongan yang memisahkan diri, lahir kurang lebih 120 H. Penganutnya
disebut “Mu’taziliy” apabila mneganut ‘Al Ushul Al Khomsah” (lima dasar) yang
terdiri dari Tauhid, Keadilan, Janji dan ancaman, Posisi di antara dua posisi,
serta Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Kelima posisi tersebut merupakan dasar utama
yang harus dipegangi oleh setiap orang yang mengaku sebagai orang mu’tazilah
dan sudah menjadi kesepakatan bersama.
2.
Asy’ariyah
adalah golongan yang kecewa dengan Mu’tazilah. Pendirinya adalah anak tiri dari
tokoh terkemuka dalam golongan Mu’tazilah, al-Jubbai. Abu Hasan al-Asy’ari
adalah murid dari al-Jubbai. Awalnya al-Asy’ari kecewa dengan posis Mu’tazilah
yang sudah tidak lagi sesuai dengan situasi baru. Ketidak sesuaian itu karena
pemikiran teologis Mu’tazilah hanya terikat pada al-Qur’an dan Hadits mutawatir.
Dalam beragama, Asy’ariyah berpegang pada Al-Quran, Sunnah Nabi, dan apa yang
diriwayatkan dari para Sahabat, Tabiin, serta Imam ahli Hadis. Aliran ini
mengikuti Mazhab Imam Syafi’i.
3.
Maturidi
mempunya paham teologi yang berbeda dari Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Teologi
Maturidiyyah bercabang dua, yakni: (1) Maturidiyah Samarkand; yang paham
teologisnya mash persis dengan apa yang dikemukakan oleh al-Maturidi, dan (2)
Maturidiyah Bukhara; yang teologinya dibangun atas rumusan al-Bazdawi.
Sekalipun antara Asy’ariyah dan Maturidiyah terdapat perbedaan, namun
bagaimanapun teologi Maturidiyah telah memberikan kelengkapan terhadap teologi
Asy’ariyah dan menambah sinkron dan harmonis, terutama untuk mewujudkan
otoritas akal yang diarahkan oleh wahyu dan saling melengkapi, karena keduanya
telah membangun kembali paham teologinya menurut al-Qur’an dan Hadis. Pandangan
teologi Maturidi didasarkan pada pikiran Imam Abu Hanifah (ahl-Ra’y) yang
tercantum dalam kitab al-Fiqh al-Akbar. Dalam pahamnya tentang kemampuan akal
manusia, Maturidi berpendapat bahwa manusia dengn akalnya mampu mengetahui dan
berterimakasih kepada Tuhan.
4.
Perdebatan-perdebatan
muncul karena perbedaan penafsiran dan pemahaman. Antar golongan pastilah
mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Biarpun berbeda, tujuan mereka tetap
sama, yakni beribadah pada Tuhan. Kita tidak boleh menghakimi dan menuding seseorang
dengan kafir jika tidak mengetahui kenifakannya. Mukmin itu orang yang beriman,
dan orang yang beriman berarti mengimani ke-Esa-an Tuhan dan kebenaran rasul-Nya
serta segala hal yang mereka ajarkan.
5.
Dari
keterangan yang telah disebutkan mengenai doktrin-doktrin ajaran tiap golongan,
penulis meyakini bahwa tujuan mereka sama, yakni beribadah pada Tuhan. Hanya
saja pemahaman yang berbeda yang memunculkan perdebatan-perdebatan antar
golongan. Berbeda itu wajar karena porsi otak manusia tidaklah selalu sama
persis. Berbeda itu wajar dan lumrah, asal jangan ada pembantaian antar sesama
muslim. Membantai berarti membunuh, dan membunuh itu perbuatan dosa besar.
Bukankah antar golongan meyakini bahwa akan ada akhirat? Hari dimana segala
perbuatannya di dunia akan dibalas disana. Lantas mengapa saling
bunuh-membunuh? Bukankah hidup Cuma sekali? (pengecualian untuk seorang yang
pernah mengalami mati suri). Hidup rukun, saling menghormati dan mengingatkan
akan lebih indah dan harmonis. Mengingatkan dengan jalan yang baik tentunya,
karena manusia tidak ada yang sempurna.
B. Kritik
dan Saran
Penulis
meyaini bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kesalahan. Untuk itu
penulis harap pembaca bersedia mengoreksi serta menyampaikan saran yang
membangun kepada penulis. Karena sekali lagi, manusia tidak ada yang sempurna.
Daftar Pustaka
Drs.
H. Ghufron. Amir. Ilmu Kalam. EFUDE
PRESS. Surakarta. 2013.
Asrohah.
Hanun dkk. Ilmu Kalam. Mojokerto: CV.
Sinar Mulia. 2012.
Diakses
dari http://syafieh.blogspot.co.id/?m=1.
31 Maret 2013.
[1]
Amir Ghufron, Ilmu Kalam, EFUDE
PRESS, 2013, hlm. 67.
[2]
Hanun Asrohah, dkk, Ilmu Kalam,
Mojokerto: CV. Sinar Mulia, 2012, hlm. 88
[3]
Dasar utama yang harus dipegang oleh orang yang mengaku mu’tazilah.
[4]
Amir Ghufron, hlm. 68-69.
[5]
Ibid, hlm. 70.
[6]
Diakses dari http://syafieh.blogspot.co.id/?m=1
[7]
Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali yang dikehendaki-Nya. Dengan kata
lain menurut paham ini, manusia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang
diperintahkan Tuhan, sedangkan ia bebas dari keburukan-keburukan yang
dilarang-Nya.
[8]
Ibid, hlm. 70-71.
[9]
Menurut paham ini, Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk
atas kemauannya sendiri.
[10]
Pelaku kebaikan harus dimasukkan ke dalam surga dan pelaku dosa besar (walaupun
di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, dan itu bersifat kekal.
[11]
Ibid.
[12]
Menurut Washil bin Atha’.
[13]
Dengan ini kaum Mu’tazilah menolak paham Khawarij yang mengkafirkan orang yang
melakukan dosa besar di satu pihak, dan paham Murji’ah yang menetapkan keimanan
seseorang sekalipun berdosa besar di pihak lain.
[14]
Ibid.
[15]
Sejarah menunjukkan kehebatan kaum Mu’tazilah dalam menjalankan prinsip “amar
ma’ruf nahi munkar” dengan memaksakan paham supaya dianut masyarakat, terutama
melalui gerakan “mihnah”.
[16]Ibid, hlm. 91.
[17]
Memaksakan dalam hal menerima doktrin teologinya dan menimpakan hukum bagi yang
mencoba menolak.
[18]
Amir Ghufron, hlm. 98-100.
[19]
Ibid, hlm. 91-94.
[20]
Ibid, hlm. 100-102.
[21]
Al-Qur’an yang terdiri dari kata dan huruf (yang merujuk pada makna yang qadim)
adalah baru.
[22]
Ibid, hlm. 105-109.
[23]
Hasil wawancara dengan santri ponpes al-Anwar, Rembang, Jawa Timur. Pengasuh
sekaligus pendiri: H. Maemoen Zubair.
[24]
Seperti perumpamaan onta yang masuk ke lubang jarum. Itu bertujuan untuk
menghapus dosa-dosa yang telah dilakukannya. Setelah dianggap bersih dari dosa,
maka ia kekal di dalam surga.
Spinomenal Casino Site » Up to €200 Free + 200 Bonus Spins
BalasHapusSpinomenal Casino is a 메리트 카지노 trusted online casino that offers 인카지노 over 200 online casino games. We have a 카지노사이트 good selection of games to choose from!
Slots and casino | JamBase
BalasHapusWelcome to 문경 출장마사지 the Slots and casino in Uncasville, CT. Slots and casino games are offered to players on 순천 출장마사지 a wide 목포 출장안마 range of 전주 출장안마 levels including the latest 사천 출장안마 slots